BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad
Secara
etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا
جُهْدَهُمْ …
Artinya:
“…Dan
(mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Adapun
definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama
ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1.
Ibnu Abd al-Syakur,
dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk
menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras)
sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.
Al-Baidawi, ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh
kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara”.
3.
Abu Zahra, ahli Ushul
Fiqh yang hidup pada awal abadke-20 ini mendefinisikan
ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya
menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu
dalilnya”.
Dari
beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan
hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang
bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
Untuk berijtihad ini
diperlukan keahlian khusus tentang sesuatu hal, dan harus mempunyai bekal ilmu
pengetahuan pembantu lainnya seperti misalnya ilmu at’tafsir, ilmu an’nahu,
ilmu balaghah, al-loghat (ilmu pengetahuan bahasa Arab) dan lain sebagainya
yang dibutuhkan untuk membantu dalam melakukan ijtihad terhadap sumber-sumberyang
asli dan autentik agar dapat memahami isi Al-quran dan Hadis.
Ijtihad sangat diperlukan masyarakat
sebagai instrumen pengembangan pelaksanaan ajaran-ajaran agama yang sudah baku.
Upaya merelevansikan ijtihad terhadap situasi dan kondisi lingkungan masyarakat
merupakan tugas fuqaha’ dan ulama (mujtahidun) yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas dalam meng-istinbath-kan
hukum dari dalil-dalil Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian, tujuan ijtihad
mengupayakan pelaksanaan ajaran-ajaran islam sebagai pegangan hidup bagi setiap
mukallaf agar sesuai dengan kondisi zaman dan tempatnya.
Tujuan
Ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Jadi,
ijtihad ialah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan segala daya dan
dana untuk mempelajari hukum Islam dari sumbernya yang asli yaitu Al-quran dan
Hadis Rasul, kemudian mengalirkan garis hukum baru daripadanya atau untuk
mencapai suatu tujuan tertentu menyusun suatu pendapat mengenai atau
berhubungan dengan suatu tata hukum atau mencapai the rule of law.
B. Pengertian Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang
mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.
Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang
sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut
Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap
terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam
tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau
mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut
istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya
atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu.
ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal
ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau
pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah
yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang
kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan
mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan
argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا
أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً
وَلاَ يَهْتَدُون
“Dan apabila dikatakan
kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah
semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab:
“Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang
kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak
juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
Pendapat
Imam Madzhab tentang Taqlid
a.
Imam Malik bin Anas
(93-179 H)
Beliau melarang
seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang
atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada
kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
b.
Imam Hambali (164-241
H)
Beliau melarang
bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang
berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan
orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti
dan mana yang salah ditinggalkan.
C. Pengertian Talfiq
Talfiq
berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.Menurut istilah,
talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian
dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan
saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah
nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada
dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu
semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti
dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada
talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti
pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq
semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai suatu kebenaran
mutlak. Adapun akal hanya menempat kedudukan skunder, yang bertugas menjelaskan
dan membela teks yang ada.
Bayani adalah
pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi
Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak
berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa)
isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap Bayani yang
dianggap menjadi titik kelemahan dari Ijtihad Bayani ini. Diantaranya adalah :
1. Menempatkan
teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi,
diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan
apalagi ditolak.
2. Teks yang
dikaji pada Bayani tidak
didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda dengan
historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika, meestinya
harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan pada
masa kini yang berbeda konteks.
3. Kajian dalam
model Bayani ini
tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya
model berpikir semacam ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha',
mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah
pendekatan untuk :
1.
Memahami atau menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki)
lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna
zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula;
2.
Mengambil
istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa
filsafat yang disederhanakan, Bayani dapat
diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam
hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran
sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di
dalamnya.
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Ø
Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan
mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani
baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin
maupun tasdiq;
Ø
Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan
mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan
makna bathil;
Ø
Bayan al-ibarah yang terdiri dari :
a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin
yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Ø
Bayan al-kitab, maksudnya media
untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz,
katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam Bayani, oleh
karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai
alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.
Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul
fikih. Namun, hal
itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki
kelemahan.
Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan
dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat
lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai
pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain,
maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis,
defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau
sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam
konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama
saya).
E. Pendekatan Rasional, Logis dan ilmiah (Burhani)
Burhan
adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum
logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan
komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu
suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani
adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities.
Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil
eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam
maupun social. Corak model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni
generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Pendekatan burhani atau pendekatan rasional
argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang
dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks
maupun konteks sebagai sumber kajian.
Karena
burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam
pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.
Ilmu al-lisan, yang
pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam
ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah
yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut.
2.
Ilmu al-mantiq, yang
membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan
segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala
sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran
dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang
digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang
mungkin diperoleh darinya.
Untuk
memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi
lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi
(sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan
sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan
sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas
sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan
metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara
lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta
masyarakat utama.
Pendekatan
antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka
cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga
dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan
dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan
dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka
cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam
Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu,
dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa
lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang
utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan
pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih
memadai dan up to date.
F. Pendekatan Spiritual-Intuitif-Etis (Irfani)
Irfan mengandung
beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf
yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan
diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana
qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan
irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam
oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin
lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari
Al-Qur'an.
Menurut Raghib Al-Asfihani,
dengan pengertian tersebut, pengetahuan manusia (hamba) kepada Allah adalah
pengetahuan al-irfanatau al-ma'rifah. Sebab, manusia tidak langsung mengetahui
Allah sebagai maf'ul (objek) yang tunggal, tetapi menyertakan yang lain, yaitu
mengetahui ayat-ayat-Nya baik qawliyyah maupun kawniyyah, dan melalui taqarub
dan ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Oleh sebab
itu pendekatan emosional-spiritual (al-irfan) adalah pendekatan pemahaman yang
bertumpu pada pengalaman batini, zauq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi.
Pendekatan ini berangkat dari makna ihsan yang terdapat dalam hadith Jibril,
yaitu bahwa ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan seseorang
melihat-Nya, atau yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Pendekatan ini
berintikan taqarrub illah (pendekatan diri kepada Allah) dan ma'iyyatullah
(rasa selalu bersama di dampingi, diawasi, dan dibimbing oleh Allah.
Dengan demikian, pendekatan
al-'irfan adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan
penajaman dan ketajaman hatinurani, yang dibangun melalui munajat wa taqarrub
illallah (memohon hidayah-keselamatan dan mendekatkan diri kepada Allah) banyak
melaksanakan ibadah masyru'ah, tadabbur al-Quran, dan berakhlak karimah adalah
upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual. Di sini terdapat untuk pengalaman
dan penghayatan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan
menjelaskan agama. Dalam pendekatan 'irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa
kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyah, yakni rasa kemanusia yang timbul
setelah banyak melakukan mujahadah dan munajat kepada Allah. Orang-orang yang
bersungguh-sungguh dalam munajat dan mujahadah kepada Allah akan
dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tiada lagi
batas, tiada lagi hijab.
Dalam kitab
Madarij al-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan ada sepuluh hijab yang
menutupi hati nurani manusia dalam memperoleh kasyf ilahi (tersingkapnya
kebenaran Ilahi), yaitu: hijab al-syirk, hijab al-ta'til (meniadakan
sifat-sifat Allah), hijab al-bid'ah al-qawliyyah (bid'ah ucapan), hijab
al-bid'ah al-'amaliyyah (bid'ah perbuatan), hijab ahlul kabair al-batiniyyah
(dosa-dosa besar batin), hijab ahlul kabair al-zahiriyyah (dosa-dosa besar
lahir), hijab ahl al-shaghair (dosa-dosa kecil), hijab ahl al-fudhalat (dosa
orang-orang yang gila kehormatan, hijab ahli al-ghaflah (hijab kelalaian), dan
hijab ahlu al-Suluk wa al-Mujtahid, yang menyimpang dari tujuan hakikinya.
Sepuluh
hijab di atas tumbuh dari empat anasir, yaitu: nafs, syaithan, duniawi dan hawa
nafsu. Seseorang tidak dapat mencapai irfan atau kasyf bila unsur-unsur
tersebut bercokol pada dirinya, karena telah terputus jalan, amal dan tujuannya
untuk mencapai kebenaran ilahi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad
adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah
untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah
hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
Untuk
berijtihad ini diperlukan keahlian khusus tentang sesuatu hal, dan harus
mempunyai bekal ilmu pengetahuan pembantu lainnya seperti misalnya ilmu
at’tafsir, ilmu an’nahu, ilmu balaghah, al-loghat (ilmu pengetahuan bahasa
Arab) dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk membantu dalam melakukan
ijtihad terhadap sumber-sumberyang asli dan autentik agar dapat memahami isi
Al-quran dan Hadis.
Tujuan
Ijtihad adalah untuk memenuhi
keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di
suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Taqlid
adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak
mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang
mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun
dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah
mati.
Talfiq
berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.Menurut istilah,
talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian
dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
Bayani adalah
pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi
Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama.
Burhani adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera,
percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya
sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman
dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan
dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil
penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di
alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social.
Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batini, zauq,
qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Pendekatan ini berangkat dari makna ihsan
yang terdapat dalam hadith Jibril, yaitu bahwa ihsan adalah mengabdi kepada
Allah seakan-akan seseorang melihat-Nya, atau yakin bahwa Allah selalu
melihatnya. Pendekatan ini berintikan taqarrub illah (pendekatan diri kepada
Allah) dan ma'iyyatullah (rasa selalu bersama di dampingi, diawasi, dan
dibimbing oleh Allah.
Dengan
demikian, pendekatan al-'irfan adalah penelitian dan perenungan yang mendalam
disertai dengan penajaman dan ketajaman hatinurani, yang dibangun melalui
munajat wa taqarrub illallah (memohon hidayah-keselamatan dan mendekatkan diri
kepada Allah) banyak melaksanakan ibadah masyru'ah, tadabbur al-Quran, dan
berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual.
0 Response to "Makalah Fiqih Kontenporer"
Post a Comment