PERKAWINAN
Tugas
ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah:
BIMBINGAN KONSELING
ISLAM II
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun
hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Medan, 5 Oktober 2019
PENDAHULUAN
Perkawinan
berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan
lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah
yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau
bersetubuh. Sedangkan
menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.
Berdasarkan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1.
Apa
Pengrertian Nikah Secara Bahasa ?
2.
Apa-Apa
Saja Syarat Rukun Dan Perkawinan?
3.
Jelas
Apa-Apa Saja Syarat-Syarat Sah Perkawinan?
Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dikemukakan maka tujuannya adalah untuk menjawab segala
permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah yang
menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau
bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid Sabiq,
perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.[1]
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[2]
Adapun
tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka
mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.5 Sedangkan menurut
Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan
adalah:
a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan
syahwat dan menumpahkan kasih sayang
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung
jawab menerima hak serta
kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal
e. membangun rumah tangga untuk membentuk
masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
C. Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan,
sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh ditinggalkan.
Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan, jika salah satu rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak
akan sah. Rukun perkawinan diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari
calon istri, saksi dua orang saksi dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang
harus terpenuhi sebelum perkawinan itu dilakukan.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua
macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat
pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal
yaitu mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum
agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif.[3]
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur
dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1))
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat
(1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua
orang tua, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21
tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur
para calon kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang
§ Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah ataupun keatas.
§ Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya
§ Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu dan ibu/bapak tiri.
§ Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,
anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan
§ Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai
bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang
§ Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka
tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk
kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
Syarat-syarat
calon mempelai pria adalah:[4]
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Tidak karena dipaksa
d. Tidak beristri empat orang (termasuk
isteri yang dalam iddah raj’i)
e. Bukan mahram perempuan calon isteri
f. Tidak mempunyai isteri yang haram
dimadu dengan calon isterinya
g. Mengetahui bahwa calon istri itu
tidak haram baginya
h. Tidak sedang berihrom haji atau umrah
i.
Jelas
orangnya
j.
Dapat
memberikan persetujuan
k. Tidak terdapat halangan perkawinan
Syarat-syarat
calon mempelai perempuan adalah:
1) Beragama
Islam
2) Perempuan
3) Telah
mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir)
4) Tidak
bersuami (tidak dalam iddah)
5) Bukan
mahram bagi suami
6) Belum
pernah dili’an (dituduh berbuat zina) oleh calon suami
7) Jika ia
perempuan yang pernah bersuami (janda) harus atas kemauan sendiri, bukan karena
dipaksa
8) Jelas
ada orangnya
9) Tidak
sedang berihrom haji atau umroh
10) Dapat
dimintai persetujuan
11) Tidak
terdapat halangan perkawinan.
SyaratWali (orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan
dalam suatu akad nikah): [5]
a. Dewasa dan berakal sehat
b. Laki-laki.
c. Muslim
d. Merdeka
e. Berpikiran baik
f. Adil
Syarat-syarat
saksi adalah:
a. Dua
orang laki-laki
b. Beragama
Islam
c. Sudah
dewasa
d. Berakal
e. Merdeka
f. Adil
g. Dapat
melihat dan mendengar
h. Faham
terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah
i.
Tidak dalam keadaan ihrom atau haji
Syarat Ijab Qabul: [6]
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari
wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari
calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah atau
semacamnya
d. Antara ijab qabul bersambungan
e. Antara ijab qabul jelas maksudnya
f. Orang yang terikat dengan ijab tidak
sedang melaksanakan haji atau umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus
dihadiri oleh minimal 4 orang. calon mempelai pria atau yang mewakili, wali
dari mempelai wanita atau yang mewakili dan 2 orang saksi
Sah artinya sesuatu yang
memenuhi seg ala rukun dan syaratnya, di samping tidak adanya halangan. Bila
sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad atau batal. Suatu perbuatan hukum yang
sah memilki implikasi hukum berupa hak dan kewajiban. Demikian pula halnya
dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk
bergaul sebagai suami istri, hak saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan
istri, dan lain-lain.
Syarat
sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat
(1) dan (2) yaitu :
1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.
2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawianan adalah suatu pencatatan
yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Alqur’an dan
hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencacatan perkawinan. Pencatatan
perkawinan pada masa dulu belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti autentik terhadap sebuah
perkawinan. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, dengan dinamika yang
terus berubah, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran
kultur lisan pada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern menuntut
dijadikannya akta sebagai surat bukti autentik. Masyarakat mulai merasakan
pentingnya pencatatan perkawinan, sehingga diatur melalui perundang-undangan
baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Kompilasi Hukum Islam.
Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
2. Kompilasi Hukum Islam:
Pasal 5 ayat (1) dan (2)
1) Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat
2)
Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo
Undang-undang No. 32 Tahun 1954
BAB III
Perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah yang
menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau
bersetubuh. Sedangkan menurut Sayid Sabiq,
perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk
memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia.5 Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh
Abdul Rohman Ghozali, tujuan perkawinan adalah:
a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan
syahwat dan menumpahkan kasih sayang
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung
jawab menerima hak serta
kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang halal
e. membangun rumah tangga untuk membentuk
masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
DAFTAR PUSTAKA
M abdullkadir, (2000),
hukum perdata di indonesia, bandung : PT Citra
aditya bakti.
Munir s, ( 2007), fiqh syari’ah ,
solo : Amanda.
Soemiyati, (1982),
hukum perkawinan dan undng-undang perkawinan, Yogyakarta : liberti.
Ali zainuddi, (2006), hukum
perdata islam di Indonesia, Jakarta : sinar grafika.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007).
[1]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat.
(Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007) hal. 2
[3] Abdulkadir Muhammad, Hukum
Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 76.
[4] S Munir. Fiqh Syari’ah.
(Solo : Amanda, 2007) hal. 34
[5] Soemiyati. Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberti, 1982)
hal. 43
[6] Zainudin Ali. Hukum
Perdata Islam Di Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal. 21
0 Response to " "
Post a Comment