Makalah Fiqih Kontenporer


                                                                           BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
            Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1.      Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.      Al-Baidawi, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara”.
3.      Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abadke-20 ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya”.
            Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
            Untuk berijtihad ini diperlukan keahlian khusus tentang sesuatu hal, dan harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan pembantu lainnya seperti misalnya ilmu at’tafsir, ilmu an’nahu, ilmu balaghah, al-loghat (ilmu pengetahuan bahasa Arab) dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk membantu dalam melakukan ijtihad terhadap sumber-sumberyang asli dan autentik agar dapat memahami isi Al-quran dan Hadis.
            Ijtihad sangat diperlukan masyarakat sebagai instrumen pengembangan pelaksanaan ajaran-ajaran agama yang sudah baku. Upaya merelevansikan ijtihad terhadap situasi dan kondisi lingkungan masyarakat merupakan tugas fuqaha’ dan ulama (mujtahidun) yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil Al-Quran dan sunnah. Dengan demikian, tujuan ijtihad mengupayakan pelaksanaan ajaran-ajaran islam sebagai pegangan hidup bagi setiap mukallaf agar sesuai dengan kondisi zaman dan tempatnya.
Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Jadi, ijtihad ialah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan segala daya dan dana untuk mempelajari hukum Islam dari sumbernya yang asli yaitu Al-quran dan Hadis Rasul, kemudian mengalirkan garis hukum baru daripadanya atau untuk mencapai suatu tujuan tertentu menyusun suatu pendapat mengenai atau berhubungan dengan suatu tata hukum atau mencapai the rule of law.
B. Pengertian Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid “penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُون
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a.       Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
b.      Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
C. Pengertian Talfiq
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.

 D. Pendekatan Tekstual (Bayani)
Pendekatan bayani merupakan studi filosofis terhadap sistem bangunan pengetahuan yang menempatkan  teks (wahyu)  sebagai suatu kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempat kedudukan skunder, yang bertugas menjelaskan dan membela teks yang ada.
Bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber  bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap Bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari Ijtihad Bayani ini. Diantaranya adalah :
1.      Menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak.
2.      Teks yang dikaji pada Bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3.      Kajian dalam model Bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).

Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah  lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
1.      Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula;
2.      Mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, Bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Ø  Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
Ø  Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
Ø  Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Ø  Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.

Dalam Bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih. Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki  kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).

E. Pendekatan Rasional, Logis dan ilmiah (Burhani)
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks sebagai sumber kajian.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.      Ilmu al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut.

2.      Ilmu al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
Untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.

F. Pendekatan Spiritual-Intuitif-Etis (Irfani)
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Menurut Raghib Al-Asfihani, dengan pengertian tersebut, pengetahuan manusia (hamba) kepada Allah adalah pengetahuan al-irfanatau al-ma'rifah. Sebab, manusia tidak langsung mengetahui Allah sebagai maf'ul (objek) yang tunggal, tetapi menyertakan yang lain, yaitu mengetahui ayat-ayat-Nya baik qawliyyah maupun kawniyyah, dan melalui taqarub dan ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Oleh sebab itu pendekatan emosional-spiritual (al-irfan) adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batini, zauq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Pendekatan ini berangkat dari makna ihsan yang terdapat dalam hadith Jibril, yaitu bahwa ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan seseorang melihat-Nya, atau yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Pendekatan ini berintikan taqarrub illah (pendekatan diri kepada Allah) dan ma'iyyatullah (rasa selalu bersama di dampingi, diawasi, dan dibimbing oleh Allah.
Dengan demikian, pendekatan al-'irfan adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan penajaman dan ketajaman hatinurani, yang dibangun melalui munajat wa taqarrub illallah (memohon hidayah-keselamatan dan mendekatkan diri kepada Allah) banyak melaksanakan ibadah masyru'ah, tadabbur al-Quran, dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual. Di sini terdapat untuk pengalaman dan penghayatan keagamaan yang mendalam sebagai perangkat untuk memahami dan menjelaskan agama. Dalam pendekatan 'irfani ini terdapat unsur humanitas (rasa kemanusiaan), tetapi humanitas ilahiyah, yakni rasa kemanusia yang timbul setelah banyak melakukan mujahadah dan munajat kepada Allah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh  dalam munajat dan mujahadah kepada Allah akan dibukakan hijab yang menutup antara dirinya dengan Allah, sehingga tiada lagi batas, tiada lagi hijab.
Dalam kitab Madarij al-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan ada sepuluh hijab yang menutupi hati nurani manusia dalam memperoleh kasyf ilahi (tersingkapnya kebenaran Ilahi), yaitu: hijab al-syirk, hijab al-ta'til (meniadakan sifat-sifat Allah), hijab al-bid'ah al-qawliyyah (bid'ah ucapan), hijab al-bid'ah al-'amaliyyah (bid'ah perbuatan), hijab ahlul kabair al-batiniyyah (dosa-dosa besar batin), hijab ahlul kabair al-zahiriyyah (dosa-dosa besar lahir), hijab ahl al-shaghair (dosa-dosa kecil), hijab ahl al-fudhalat (dosa orang-orang yang gila kehormatan, hijab ahli al-ghaflah (hijab kelalaian), dan hijab ahlu al-Suluk wa al-Mujtahid, yang menyimpang dari tujuan hakikinya.
Sepuluh hijab di atas tumbuh dari empat anasir, yaitu: nafs, syaithan, duniawi dan hawa nafsu. Seseorang tidak dapat mencapai irfan atau kasyf bila unsur-unsur tersebut bercokol pada dirinya, karena telah terputus jalan, amal dan tujuannya untuk mencapai kebenaran ilahi.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
      Untuk berijtihad ini diperlukan keahlian khusus tentang sesuatu hal, dan harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan pembantu lainnya seperti misalnya ilmu at’tafsir, ilmu an’nahu, ilmu balaghah, al-loghat (ilmu pengetahuan bahasa Arab) dan lain sebagainya yang dibutuhkan untuk membantu dalam melakukan ijtihad terhadap sumber-sumberyang asli dan autentik agar dapat memahami isi Al-quran dan Hadis.
      Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
      Taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati.
      Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.
      Bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber  bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama.
      Burhani adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social.
      Irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batini, zauq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Pendekatan ini berangkat dari makna ihsan yang terdapat dalam hadith Jibril, yaitu bahwa ihsan adalah mengabdi kepada Allah seakan-akan seseorang melihat-Nya, atau yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Pendekatan ini berintikan taqarrub illah (pendekatan diri kepada Allah) dan ma'iyyatullah (rasa selalu bersama di dampingi, diawasi, dan dibimbing oleh Allah.
      Dengan demikian, pendekatan al-'irfan adalah penelitian dan perenungan yang mendalam disertai dengan penajaman dan ketajaman hatinurani, yang dibangun melalui munajat wa taqarrub illallah (memohon hidayah-keselamatan dan mendekatkan diri kepada Allah) banyak melaksanakan ibadah masyru'ah, tadabbur al-Quran, dan berakhlak karimah adalah upaya penguatan potensi kecerdasan spiritual.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Fiqih Kontenporer"

Post a Comment