Makalah Harta


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar belakang
Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris islam di sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-sunnah. Syariat  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal.
Dalam kita berhubungan sosial dengan manusia, ada salah satu ibadah yang memang erat hubungannya dengan manusia sekaligus berhubungan dengan Allah, ibadah tersebut adalah zakat. Zakat merupakan salah satu rukun islam ke tiga yang diwajibkan kepada setiap muslim. Zakat infaq dan shadaqah merupakan salah satu topic selalu menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Karena  zakat, infaq, dan shadaqah dalam peranannya memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan.
B.     Rumusan masalah
1.      Apakah pengertia Harta?
2.      Bagaimankah pembagian Harta?
3.      Apakah pengertian Waris?
4.      Apakah pengertian Zakat dan Infak?
5.      Bagaimana metode bimbingan Zakat, Infak dan Sedekah?

C.    Tujuan Masalah
1.      Memahami apa itu Harta
2.      Mengetahui pembagian Harta
3.      Memahami pengertian Waris
4.      Memahami pengertian Zakat dan Infak
5.      Mengetahui metode bimbingan Zakat, Infak dan Sedekah



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Harta
Dalam  bahasa  Arab   harta   disebut   dengan   sebutan   al-mal.   Berasal dari  kata  مَالَ- يَمِيْلُ- مَيْلاً  yang mempunyai arti condong, cenderung dan miring. Al-ma ljuga bisa disebut hal yang menyenangkan  manusia, yang mereka pelihara baik itu dalam bentuk materi, maupun manfaat. Begitu berharganya sebuah harta sehingga banyak manusia yang cenderung ingin memiliki dan menguasai harta. Sedangkan menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum islam), seperti jual-beli (al-bay), pinjam-meminjam (‘ariyah), konsumsi dan hibah atau pemberian. Beradasarkan pengertian tersebut. maka, segala sesuatu yang digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan harta. Seperti uang, tanah, rumah, kendaraan, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil peternakan, perkebunan, dan juga pakaian semuanya termasuk dalam kategori al-amwal.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam ayat-ayat al-Qur’an, harta memiliki kedudukan antara lain:
a.    Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT, manusia hanyalah pemegang amanah untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan pemilik harta sebenarnya tetap pada Allah SWT.
b.    Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai dan menikmati.
c.    Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran islam ataukah tidak.
B.     Pembagian Harta
Dalam Islam sistem pembagian harta dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, menjelaskan harta dilihat dari segi wujud atau bentuknya harta. Bentuk harta terbagi menjadi dua, yaitu berupa‘ain (benda atau barang) dan manaafi’ (manfaat). kedua, berdasarkan boleh tidaknya untuk memanfaatkan harta dibagi menjadi mutaqawwim dan ghairul mutaqawwim. Sedangkan yang ketiga, harta dilihat dari sisi ada atau tidaknya persamaan dari harta tersebut di pasaran, terbagi menjadi mitsli dan qiimi.
a.      ‘Ain dan Manaafi’
Harta secara umum tidak hanya bersifat materi. Sebab menurut jumhur ulama, manfaat juga merupakan harta. Contohnya, apabila ada seseorang menempati rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya, orang tersebut dapat dituntut ganti rugi, karena manfaat rumah tersebut mempunyai nilai harta. Manurut jumhur ulama tersebut, manfaat merupakan unsur terpenting dalam harta. Karena harta diukur dengan kualitas manfaat dari benda itu sendiri.
b.      Mutaqawwim dan Ghairul Mutaqawwim
Harta mutaqawwim ialah harta yang halal (menurut syara’) untuk diambil manfaatnya. Sedangkan ghairul mutaqawwim adalah harta yang tidak halal dimanfaatkan (menurut syara’). Pembedaan pembagian harta Mutaqawwim dan Ghairul Mutaqawwimakan terlihat jelas dalam hal keabsahan pemanfaatan harta tersebut menurut syara’. Bangkai, babi dan khamr dalam Islam bukanlah harta yang halal dimanfaatkan (menurut syara’). [1]Oleh sebab itu, tidak sah dilakukan akad terhadap benda-benda tersebut. Dari segi ganti rugi, jika melenyapkan dengan sengaja harta Ghairul Mutaqawwim yang dimiliki oleh seorang muslim, tidak dikenakan ganti rugi, karena harta tersebut tidak halal bagi umat Islam. Berbeda halnya dengan khamr dan babi milik kafir dzimmi, menurut ulama mazhab Hanafi, jika dilenyapkan oleh seorang muslim, wajib dibayar ganti rugi, sebab menurut kafir dzimmi, kedua bentuk harta tersebut termasuk mutaqawwim.
C.    Pengertian Waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan  harta, akan  tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi. Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI)[2].  Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
·         Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
·         Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
·         Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu : Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
1.      Mati Haqiqy (mati sejati)
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
2.      Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.
3.      Mati Taqdiry (mati menurut dugaan)
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
D.    Zakat dan Infak
Zakat berarti suci, tumbuh, bertambah, dan berkah, dengan seperti itu zakat membersihkan atau mensucikan diri seseorang dan hartanya, pahala bertambah, harta tumbuh (berkembang), dan membawa berkat. Sesudah menegluarkan zakat atau infak seseorang telah suci dirinya dari penyakit kikir dan tamak, hartanya juga telah bersih karena tidak ada lagi hak orang lain pada hartanya itu. Yang mana terdapat dalam Surah At-Taubah  ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka..” Juga terdapat dalam  hadist, “Sedekah (zakat) itu tidak mengurangi harta, Allah akan menambah kemuliaan untuk hambanya dan orang yang tunduk, tawadlu kepada Allah akan diangkat derajatnya.” (HR Muslim)[3]
Bila kita melihat secara lahiriah, maka harta akan berkurang kalau dikeluarkan zakatnya. Dalam pandangan Allah, tidak demikian karena mebawa berkat atau pahalanya yang bertambah. Kadang-kadang kehendak Allah bertolak belakang dengan kemauan manusia yang dangkal dan tidak memahami kehendak Allah.seharusnya kita sadar bahwa harta yang kita miliki semuanya hanyalah titipan dan amanah dari Allah dan penggunaannya pun harus sesuai dengan ketentuan dari Allah.
E.     Hikmah Zakat dan Infak
Dalam masyarakat kedudukan orang tidak sama, ada yang mendapat karunia Allah lebih banyak , ada yang sedikit, dan bahkan ada yang untk makan sehari-hari pun susah mendapatkannya. Kesenjangan itu perlu didekatkan dan sebagai salah satu caranya adalah dengan zakat dan infak. Orang kaya harta berkewajiban mendekatkan kesenjangan itu, karena memang ada hak fakir miskin dalam harta oarang kaya itu. Yang mana terdapat dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 19, “Dan pada harta mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orag yang hidup kekurangan.” Di antara hikmah zakat dan infak:
1.      Menyucikan Harta
Yang manatujuan dari zakat itu untuk membersihkan harta dari kemungkinan masuk harta orang lain kedalam harta yang dimiliki. Tanpa segaja, barangkali harta orng lain yang bercampur dengan harta kita. Disamping itu, hak orang lain pun memang ada dalam harta yang dimiliki itu, sebagaimana yang sudah disebutkan dalam Surat AdzDzariyat ayat 19. Bahkan infak dan sedekah (jariah, wakaf) itulah sebenarnya memiliki nmutlak bagi kita dan sebagai tabungan untuk akhirat kelak. Selain itu, belum tentu kita miliki seterusnya, disebabkan oleh bencana alam, musibah lainnya yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
2.      Menyucikan Jiwa si Pemberi Zakat dari Sifat Kikir (Bkhil)
Zakat selain membersihkan harta juga membersihkan jiwa dari kotoran dosa secara umum, terutama kotoran hati dari sifat kikir (bakhil). Sifat kikir adalah salah satu sifat tercela yang harus disingkirkan jauh-jauh dari hati, sifat kikir bersaudara dengan sifat tamak, karena orang yang kikir itu berusaha, supaya hartanya tidak berkurang karena zakat, infak, dan sedekah. Dia berusaha mecari harta sebanyak-banyaknya, tanpa memedulikan batas halal dan haram. Bahkan ada orang yang untuk diri sendiri saja sangat berhemat yang melampaui batas. Begitu juga sebaliknya dengan orang yang selalu berfoya-foya.
Demikian di antara orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah, apabila sudah tertanam kesadaran berzakat berarti sifat kikir sudah mulai menjauh dan terus menjauh berkat tempaan iman dan takwa kepada Allah. Sebab orang yang beriman dan bertaqwa sadar betul dia, bahwa apa yang dimilikinya adalah karunia Allah dan limpahan rahmatnya.
c.       Membersihkan Jiwa si Penerima Zakat dan Sifat Dengki
Dalam kehidupan sehari-hari kita lihat bahwa uang yang bernilai lima puluh rupiah, atau seratus rupiah yang kita berikan kepada peminta-minta, secara spontan keluar dari mulutnya ucapan “Alhamdulila, semoga umur anda panjang dan murah rezeky.” Sekiranya orang kaya peduli terhadap nasib mereka, zakat dapatdisalurkan dan terkoordinir dengan baik, maka peminta-minta akan berangsur hilang dari jalanan.
d.      Membangun Masyarakat yang Lemah
Melihat kenyataan sekarang, kita masih merasa prihatin sebagai contoh untuk membangun masjid, ada yang meminta sumbangan dipinggir jalan lewat kotak amal dari penumpang kendaraan yang lewar. Uang seratus, lima ratus, seribu rupiah diterima dengan rasa syukur oleh penerimanya. Belum lagi kita lihat orang meminta sumbangan dari rumah kerumah untuk panti asuhan, pembangunan sekolah dan sebagainya. Rumah yang didatangi tidak hanya rumah-rumah yang wilayahnya tetapi jauh ke daerah-daerah lain. Hal ini pertanda bahwa ekonomi masyarakat pada daerah itu masih lemah, sehingga membangun sekolah atau masjid pun terpaksa pergi ke tempat yang jauh. Masih banyak masalah sosial kemasyarakatan yang memerlukan dana, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memlaui zakat, infak. Dan sedekah.
F.      Metode dan Bimbingan dalam Zakat, Infak, Sedekah (ZIS)
Zakat, Infak, Sedekah adalah harta yang wajib dan sunnah di keluarkan atau pemberian, baik materi maupun non materi yang diberikan secara sukarela. Metode bimbingan dengan ZIS adalah sistem atau cara yang dilakukan oleh konselor kepada kliennya dalam memberikan bantuan apapun saran untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera serta damai dalam lindungan Allah SWT atas nikmat yang harus kita syukuri dan berikan kepada fakir, miskin dan dhuafa, oleh sebagian harta yang kita miliki. Adapun kesimpulan bahwa metode bimbingan ZIS merupakan bantuan kepada individu yang sedang menumbuhkan bantuan atas masalah-masalah yang sedang dihadapinya dengan cara memberikan pengertian tentang pentingnya ZIS serta manfaat yang dapat dipetik dari hal tersebut.  Bimbingan memiliki beberapa metode, metode lazim diartikan sebagi cara untuk mendekati masalah sehingga diperoleh hasil yang meuaskan. Dalam hal ini metode bimbingan dapat diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi, metode tersebut terdiri dari metode komuniksi langsung dan tidak langsung.
1.      Metode langsung adalah metode dimana pembimbinga melakukan komunikasi langsung (bertatap muka) dengan orang yang bimbingnya[4]. Metode ini dapat dirinci lagi:
a.       Metode individual, yang mana pembimbing melakukan komuniksi lansung secara individual dengan pihak yang dibimbingnya, seperti menggunakan teknik percakapan pribadi, kunjungan rumah, kunjungan dan observasi kerja.
b.      Metode kelompok, yang mana pembimbing melakukan komunikasi langsung dengan klien dam kelompok. Dengan cara diskusi kelompok, karya wisata, sosiodrama, psikodrama, group teching[5].
2.      Metode tidak langsung adalah metode bi,bingan yang dilakukan melalui media komunikasi massa. Yang dapat dilakukan secara individual maupun kelompok bahkan massal.
a.       Metode individual, melaui surat menyurat, dan melalui telepon dan sebagainya
b.      Metode kelompok atau massal, melalui papan bimbingan, melalui surat kabar atau majalah, memlalui brosur, melalui radio, dan melalui televisi. Metode dan teknik yang digunakan dalam melaksanakan bimbingan atau konseoling tergantung pada:
·         Masalah problem yang sedang dihadapi
·         Tujuan penggarapan masalah
·         Keadaan yang dibimbing atau klien
·         Kemampuan pembimbing atau konselor mengguakan metode
·         Sarana dan prasarana yang tersedia
·         Kondisi dan situasi lingkungan sekitar
·         Organisasi dan administrasi layanan bimbingan konseling




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu : Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia
Dan dalam masyarakat kedudukan orang tidak sama, ada yang mendapat karunia Allah lebih banyak , ada yang sedikit, dan bahkan ada yang untk makan sehari-hari pun susah mendapatkannya. Kesenjangan itu perlu didekatkan dan sebagai salah satu caranya adalah dengan zakat dan infak. Orang kaya harta berkewajiban mendekatkan kesenjangan  itu, karena memang ada hak fakir miskin dalam harta oarang kaya itu. Zakat, Infak, Sedekah adalah harta yang wajib dan sunnah di keluarkan atau pemberian, baik materi maupun non materi yang diberikan secara sukarela. Metode bimbingan dengan ZIS adalah sistem atau cara yang dilakukan oleh konselor kepada kliennya dalam  memberikan bantuan apapun sarana untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera serta damai dalam lindungan Allah SWT atas nikmat yang harus kita syukuri dan berikan kepada fakir, miskin dan dhuafa, oleh sebagian harta yang kita miliki.



DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan. 200.  Zakat Dan Infak.  Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Arifin. 1998 Pedoman dan Pelaksanaan Bimbingan da Penyukuhan    Agama. Jakarta: PT Golden Terayon Press
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri. 2009. Ringkasan Fiqh Islam (4) Bab Muamalah terjemahan. 
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam. Bandung : PT. Sinar Baru .




[1] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri. (Ringkasan Fiqh Islam (4) Bab Muamalah terjemahan, 2009). Hlm.65
[2] Sulaiman, rajid. Fiqih Islam. (Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo, 2000). Hlm.56.
[3] Ali Hasan. Zakat Dan Infak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Hal 15
[4] Arifin. Pedoman dan Pelaksanaan Bimbingan da Penyukuhan Agama: Jakarta, PT Golden Terayon Press, 1998. Hal 52
[5] Ibid hal, 53-54

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Harta"

Post a Comment