KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah,
menyertai rangkaian kalimat ini puji syukur sepatutnya kita ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, meskipun jauh dari
kesempurnaan. Kesempurnaan hanya milik-Nya, khilaf dan salah hanya milik
penulis sebagai hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah pada
junjungan Baginda Muhammad SAW, yang senantiasa dinantikan syafaatnya.
Sebagai
akhir kata, peneliti mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
peneliti khususnya dan para pembaca umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Disadari
ataupun tidak, sesungguhnya manusia memiliki naluri dan watak berpolitik, watak
untuk mengatur, mempengaruhi, dan menghegemoni orang lain. Berpolitik merupakan
aktualisasi diri dalam ranah publik sebagai bukti bahwa dirinya memiliki
kekuatan yang dapat didarmabaktikan kepada
bangsa dan negara atau kepada masyarakat luas. Selain itu
berpolitik juga panggilan dari ajaran Islam, salah satunya untuk melakukan
dakwah amar makruf nahi munkar. Tidaklah herakan kalau dalam bentangan sejarah
yang panjang, sejak Rasulullah Muhammad saw, khulafaurrasyidin, Umayyah
(661-750) sampai Abbasiyah (750-1258) diwarnai kejayaan dalam
bidang politik, karena kemampuannya melakukan ekspansi atau futuhat[1] ke negara-negara atau daerah lain.[2] Selain itu, karena persoalan politik juga,
perpecahan, peperangan dan pertumpahan darah di tubuh umat Islam tidak dapat
dielakkan. Perang jamal antara menantu dan mertua (Ali bin Abi
Thalib dengan ‘Aisyah), perang siffin antara khalifah dengan gubernur (Ali bin
Abi Thalib dengan Mu’awiyyah) sebagai bukti sejarah yang sulit dibantah.
Peristiwa politik ini sebagai bahan analisis orientalis, yang berkesimpulan
bahwa berkembangnya Islam karena perang, berarti umat Islam suka menumpahkan
darah. Hal ini diperkuat perilaku politik negara-negara Islam yang tidak dapat
bersatu, malah berperang sesama negara Islam, misalnya Iran-Irak, Iran-Kuwait.
Juga konflik sesama gerakan politik di Timur Tengah,[3] misalnya antara Hamas
dan Fatah di Palestina. Bahkan lahirnya
aliran teologi Islam juga berawal dari masalah politik,[4] sehingga sesungguhnya Islam tidak dapat
dilepaskan dari politik. Tidak hanya itu, munculnya hadis palsu yang dibuat
oleh orang-orang muslim atau non-muslim,
karena didorong oleh motif-motif politik,[5] misalnya hadis di bawah ini:
ﻚﺘﻌﻴﺷ
ﻲﻴﺤﻤﻟو ﻚﺘﻌﻴﺸﻟو ﻚﻠهﻷو ﻚﻳﺪﻟاﻮﻟو ﻚﺘﻳرﺬﻟو ﻚﻟ ﺮﻔﻏ ﷲا نإ ﻲﻠﻋ ﺎﻳ
“Wahai
‘Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu, keturunanmu, orang tuamu,
keluargamu, pengikutmu,dan orang-orang yang menghidupkan syi’ahmu”
Inilah
kenyataan sejarah kalau Islam tidak dapat dilepaskan dari politik, dan umat
Islam pernah “babak belur dalam sejarah”, bahkan “berdarah-darah”. Namun
juga harus adil dalam meletakkan Islam dalam sejarah peradaban, yakni dengan
cara melahirkan kesepakatan atau tahkim/arbitrase. Mereka yang tidak setuju
terhadap arbitrase ini keluar dari pihak Ali dan
membentuk kelompok Khawarij, yang menghalalkan
darah orang-orang yang terlibat dalam arbitrase.
Islam
diletakkan sebagai agama yang mencerahkan, membangun peradaban yang anggun dan
suka kedamaian, sebagaimana makna yang terkandung dalam kata “ ﻢﻠﺳأ – ﺎﻣﻼﺳإ – ﻢﻠﺴﻳ ” itu sendiri, yang bermakna keselamatan, kedamaian, dan
penyerahan. Islam hadir membebaskan umat masia dari belenggu sejarah, peradaban
dan belenggu kultural, tradisi dan adat istiadat seperti pada zaman jahiliyah.
Dari dua pemikiran yang ekstrim ini maka lahirlah pemikiran tengah,
mengambil sebagian pemikiran kanan dan sebagian pemikiran kiri. Maka kalau
dipetakan pemikiran hubungan agama dan politik[6] ini ada tiga, dan terus mewarnai dalam jagat
pemikiran politik Islam, bahkan sampai pada tataran praksis. Ketiga pola
pemikiran tersebut adalah; pertama, mereka yang memisahkan antara politik dan
agama, keduanya berada dalam wilayah yang berbeda, agama adalah urusan ukhrawi
dan politik urusan dunia. Pola inilah yang disebut dengan sekularisme
(tokohnya: Thaha Husein dan Ali Abd.Raziq), di Indonesia Gus Dur. Kedua,
mereka yang menyatakan bahwa antara agama dan politik adalah satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, integralistik, karena agama tidak hanya berhubungan
dengan ukhrawi saja, melainkan juga mengatur kehidupan di dunia.[7] Kesempurnaan Islam diyakini
oleh umat Islam, karena Islam mengatur kehidupan
secara menyeluruh dan diterapkan dalam keluarga, ekonomi dan politik,
yang lebih dikenal dengan 3 D (dien, dunya dan daulah). Untuk
itulah realisasinya harus diciptakan negara Islam, yakni sebuah negara
ideologis yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap.[8] Tokoh yang masuk dalam kelompok ini
adalah Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dan Rasyid Ridha, sementara tokoh Indonesia
adalah M. Natsir,[9] Hasyim Asy’ari, dan belakangan tokoh-tokoh yang
bergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia. Ketiga,
mereka yang menyatakan bahwa Islam hanya mengatur prinsip-prinsip dan etika
politik saja, bersifat simbiotik, karena Islam tidak mengatur sistem dan bentuk
negara, dan sistem pemerintahan. Tokohnya, Muhammad Husain Haikal,[10] kalau tokoh Indonesia adalah Syafii Ma’arif dan
Amien Rais.
Berpijak
dari ketiga pemikiran di atas maka kami terpanggil untuk menyusun makalah yang
berjudul “Pada Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin” .
1. Rumusan masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa
khulafaurrasyidin?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan
peradaban Islam pada masa khulafaurrasyidin berkembang dengan dengan pesat?
3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan ummat Islam dalam
mengatasi konflik-konflik yang terjadi pada masa khulafaurrasyidin?
BAB II
PEMBAHASAN
PERADABAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN
1. A. PERADABAN ISLAM MASA
KHALIFAH ABU BAKAR
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh
siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang
kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah
yang dinamakan “Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum
muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang
benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan
yang selalu berdiri diatas kebenaran.
Maka
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah
untuk mencari pengganti Rasulullah SAW.
Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum
Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya
pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul
Mu’minin.
Keputusan
Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan
menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam
yang mengajarkan bagaimana cara
mengendalikan negara dan pemerintah
secara bijaksana dan demokratis.[11] Terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang
pertama dalam ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi dari konsep
politik Islam.
Abu Bakar
menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis
dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan,
munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai
pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang
pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai
Tsaqifah Bani Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah
wafatnya nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan
dijadikan persepsi bahwa Islam telah berakhir.
FAST RESPON
ATAU KLIK LINK DI BAWAH INI UNTUK MENDAPATKAN VERSI FULLNYA ( BAB I-V )
DOWNLOAD DISINI VIA
GOOGLE DRIVE
DOWNLOAD DISINI VIA
MEDIAFIRE
0 Response to "Makalah Peradaban Islam Masa Khulafaur Rasyidin "
Post a Comment