BAB
I
A.
Konsep
Dasar
1.
Defenisi
Difteri ialah suatu penyakit infeksi
akut yang disebabkan oleh corynebakterium diphtheriae, ditandai oleh
terbentuknya membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala umum karena
eksotoksin yang diproduksi basil ini.
(Ilmu
Penyakit Dalam, 483)
Difteri adalah penyakit infeksi akut
yang disebabkan oleh corynebacterium difteriae yang berasal dari membran mukosa
hidung dan nasofaring, kulit dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.
(Suriadi,
S.Kp, hal 91)
2.
Etiologi
Corynebacterium diphteriae
(klebsloeffler) termasuk kuman batang gram positif, tersusun berpasangan
(palisade), tidak bergerak, tidak membentuk spora, aerobik dan dapat
memproduksi eksotoksin.
Menurut bentuk, besar dan warna
koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yaitu:
a.
Gravis
Koloninya
besar, kasar, iregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit.
b.
Mitis
Koloninya
kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
c.
Intermediate
Koloninya
kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengah dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih
virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis adalag
dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya
tidak. Semua jenis basil ini dapat memproduksi eksotoksin, akan tetapi
virulensinya berbeda.
Untuk membedakan jenis virulen dan
non virulen dapat diketahui dengan pemeriksaan:
1)
Uji
presipitasi agar gel (elektroforesis)
2)
Inokulasi
intradermal terhadap guinea – prg
3.
Anatomi
Fisiologi
Saluran nafas terdiri dari rongga
hidung, tonsil, laring. Udara yang melalui hidung akan disaring oleh bulu-bulu
yang terdapat dalam vestibulum dan karena kontak dengan permukaan lendir yang
dilaluinya maka udaranya menjadi hangat. Hidung menghubungkan lubang-lubang
dari sinus udara para nasalis yang masuk ke dalam rongga-rongga hidung.
Faring (tekak) adalah pipa berotot
yang merupakan persambungan dasar tengkorak dengan osofagus pada ketinggian
tulang rawan krikord. Maka letaknya di belakang hidung (nasofaring) di belakang
mulut (orofaring) dan di belakang laring (faring laringeal), laring (tenggorok)
terletak di bagian terendah faring.
4.
Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinis difteri
tergantung kepada:
1)
Lokasi
infeksi
2)
Imunitas
penderitanya
3)
Ada
/ tidaknya toksin difteri yang beredar dalam sirkulasi darah.
Masa inkubasi adalah 1 – 10 hari
(tersering 2 – 4 hari). Gejala klinis dapat dibagi atas gejala umum, gejala
lokal dan gejala-gejala yang terjadi sebagai akibat eksotoksin merusak jaringan
lain yang terkena. Gejala umum yang timbul adalah demam yang tidak terlalu
tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia sehingga pasien tampak sangat
lemah. Gejala umum ini biasanya disertai gejala lokal setiap bagian yang
terkena seperti pilek, nyeri waktu menelan, sesak nafas, suara serak dan
stridor.
Menurut lokasi infeksinya pertama
terjadi, manifestasi klinis difteri adalah sebagai berikut:
·
Difteri
nasal anterior: timbul keluhan dan gejala terjadi secara perlahan-lahan dan
terselubung. Tipe difteri ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena sangat
infektif sedangkan gejala-gejala ringan, sehingga kadang-kadang tidak
terdiagnosis.
·
Difteri
nasal pasterior (nasofarinks): membentuk pada daerah nasofarinks, sukar
terlihat dari luar, sehingga sering luput dari pemeriksaan.
·
Difteri
fusial: terjadi secara terselubung, pada fase permulaan timbul demam, sakit
kepala, lesu dan sore throat.
·
Difteri
larinks: umumnya merupakan penyebaran / penjalaran dari difteri fausial, tetapi
pada keadaan yang tidak begitu sering bisa ditemukan hanya difteri laring saja.
·
Difteri
kulit: keadaan yang sangat jarang terjadi, biasanya kelainan berbentuk ulkus
yang mempunyai tepi terbatas.
5.
Patofisiologi
·
Kuman
berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva kulit, mata
walaupun jarang terjadi.
·
Kuman
membentuk pseudo membran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membran timbul lokal
dan menjalar dari faring, laring dan saluran nafas atas, kelenjar getah bening
dan tampak membengkak dan mengandung toksin.
·
Eksotoksin
bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralisis otot-otot pernafasan bila mengerjai jaringan saraf.
·
Sumbatan
pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudo membran pada laring dan
trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
Corynebacterium
diphterice
Kontak
langsung dengan orang yang
Terinfeksi
atau barang-barang
Yang
terkontaminasi
↓
Masuk
ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan
↓
Aliran
sistemik
↓
Masa
inkubasi 2 – 5 hari
↓
Mengelurkan toksin (eksotoksin)
↓
Nasal Torasil
/ faringeal Laring
↓ ↓ ↓
Peradangan Tenggorokan
sakit, demam Demam, suara serak,
Mukosa hidung anoreksia,
lemah membran batuk, obstruksi
(flu, sekret hidung, berwarna
putih atau abu-abu saluran nafas sesak
Serosa) limfadenitis
(bull’s neck) nafasi, sianosis
Toxemia, syok
septik
6.
Komplikasi
·
Miokarditis
·
Neuritis
·
Bronkopneu
menia
·
Nefritis
·
Paralitis
7.
Pemeriksaan
Diagnostik
·
Pemeriksaan
darah: penurunan Hb, leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit.
·
Pemeriksaan
urine, kadar albuminaria ringan.
8.
Penatalaksanaan
a.
Pengobatan
umum
Dengan
perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulaan
dirawat, 1 minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2x
berturut-turut normal.
b.
Pengobatan
spesifik
·
Antidiptheria
serum (ADS), 20.000 u/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus
dilakukan kulit dan mata. Bila ternyata px peka terhadap serum tersebut harus
dilakukan disentilisasi dengan cara besredka.
·
Antigrotik,
di bagian ilmu kesehatan anak diberi penisilin pnekain 50.000 u/kg BB / hari
sampai 3 hari bebas demam.
·
Kortikosteroid,
untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan,
dengan memberikan prednison 2 mg/BB/hari selama 3 – 4 minggu. Bila pada pasien
difteria terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot dapat diberikan
striknin ¼ mg dan Vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
·
Riwayat
keperawatan: riwayat terkena penyakit infeksi, status imunisasi.
·
Kaji
tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil / faring, dan laring.
·
Lihat
dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiologi.
2.
Diagnosa
Keperawatan
1)
Tidak
efektifnya jalan nafas b/d obstruksi pada jalan nafas.
2)
Gangguan
aktifitas sehari-hari b/d hospitalisasi.
3)
Resiko
kurangnya volume cairan b/d proses penyakit atau metabolisme meningkat, intake
cairan menurun.
4)
Gangguan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang kurang.
3.
Perencanaan
DX
1
Tidak
efektifnya jalan nafas b/d obstruksi jalan nafas.
Tujuan:
Anak
akan menunjukkan tanda-tanda jalan nafas efektif.
Intervensi:
·
Kaji
status pernafasan, observasi irama dan bunyi pernafasan.
·
Atur
posisi kepala dengan ekstensi.
·
Suction
jalan nafas jika terdapat sumbatan.
Rasionalisasi:
·
Anak
dapat bernafas normal dan suara nafas lebih bersih.
·
Memudahkan
anak untuk bernafas karena sesak.
·
Agar
sekret tidak menumpuk.
DX
2
Gangguan
aktivitas sehari-hari b/d hospitalisasi.
Tujuan:
Anak
mau mengerti.
Intervensi:
·
Menyediakan
aktivitas yang sesuai dengan umurnya.
·
Mengetahui
aktivitas yang disukai anak.
Rasionalisasi:
·
Diharapkan
anak dapat beraktivitas sehingga ada pergerakan yang disesuaikan dengan
umurnya.
·
Anak
tidak akan merasa bosan.
DX
3
Resiko
kurangnya volume cairan b/d proses penyakit.
Tujuan:
Kekurangan volume cairan tidak terjadi.
Intervensi:
·
Memonitor
intake out put secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang
tepat.
·
Kaji
adanya tanda-tanda dehidrasi.
·
Kolaborasi
untuk pemberian cairan parenteral jik pemberian cairan melalui oral tidak
memungkinkan.
Rasionalisasi:
·
Dapat
diketahui jumlah cairan yang dibutuhkan.
·
Agar
dapat diatasi sedini mungkin.
·
Dapat
mengembalikan cairan yang hilang untuk mencegah terjadinya gangguan
keseimbangan cairan lebih lanjut.
DX
4
Gangguan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang kurang.
Tujuan:
Meningkatkan
kebutuhan nutrisi.
Intervensi:
·
Memasang
NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak.
·
Kolaborasi
untuk pemberian nutrisi parenteral.
·
Menilai
indikator dan terpenuhinya kebutuhan nutrisi.
Rasionalisasi:
·
Menambah intake nutrisi.
·
Mengembalikan
nutrisi yang hilang dan untuk mencegah terjadinya gangguan keseimbangan nutrisi
lebih lanjut.
·
Kebutuhan
nutrisi terpenuhi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ilmu
Penyakit Dalam,
Edisi III, 1996.
Evelyn.
C. Pearce, Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis, Penerbit PT
Gramedia, Jakarta.
Kapita
Selekta Kedokteran,
Edisi III, 2000.
Ngastiyah,
Perawatan Anak Sakit, 1995.
SKp,
Suriadi, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1.
makasih
ReplyDeleteSm2 gan
ReplyDeleteMa kasiiih
ReplyDeleteSama2
DeleteMakasih😊
ReplyDeleteSama👍
Delete